19 Januari 2019

Abhati


Muhammad Faqih El Wathon


Suara gemerincing jam beker dari atas meja kamarku berbunyi dengan jahatnya memaksa sepasang kelopak mata dibawah selimut tebal nan hangat terbuka dengan sangat malas. Tangan kananku meraba-raba dalam kegelapan mengandalkan telinganya sendiri untuk menjangkau jam kecil yang sudah teriak-teriak sedari tadi. Begitu dendamnya tanganku ketika menemukan jam itu, ingin sekali membuangnya jauh keluar jendela, tapi naas dia masih terlalu lemah untuk melakukan rencana itu hingga jam kecil itu hanya dijengguknya pelan pada sisi kepalanya.
Pagi ini begitu dingin, lebih dari biasanya. Begitu nikmatnya karunia kehangatan  yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia yang menggigil dalam kedinginan, atau dalam konteks ini mungkin saja hanya siasat setan pagi yang senantiasa memeluk manusia dengan apinya supaya terus lalai dalam melaksanakan kewajibannya di pagi hari. Tapi bagiku semua terasa sama saja, tidak ada yang bisa memejamkan kembali mataku kembali ke dalam dunia mimpi yang begitu indah. Tidak, saatnya menaklukkan kenyataan.
Sayup-sayup terdengar dari masjid di seberang desa tengah melafadzkan zikir setelah sholat shubuh begitu aku berjalan di dalam kesunyian pagi, tanpa sapaan burung-burung maupun ayam jantan yang biasanya beradu vokal dengan jam beker kecil imut yang hendak kubuang setiap pagi. Kakakku sepertinya masih tertidur pulas di atas lautan kapuknya yang setauku lebih keras dari punyaku di dalam kamar, sepertinya dia takluk dengan godaan setan pagi itu. Ah, biarkan saja, lagipula hari ini adalah gantianku membuatkan sarapan untuk kami. Hal itu biasanya kami lakukan bergantian setiap hari sepeninggal ayah dan ibu dari pernikahan mereka.
Pagi itu waktu telah menunjukkan pukul setengah 7 kurang sedikit, namun ada hal yang sedikit merangsang perhatianku. Pagi ini begitu dingin, dingin yang begitu berbeda dari sapaan dingin di pagi hari sebelumnya. Sang mentari pagi yang biasanya menyapa hangat dari balik atap-atap rumah tetangga pun belum ada tanda-tanda yang mengatakan bahwa dia akan menunjukkan kecantikan wajahnya, walaupun belum ada yang begitu nyata melihat wajah dewa itu, aku yakin itu hanyalah awang-awang dari sekelompok orang cengeng dan dia yang menulis cerita ini.
Aku pun merasa sedikit aneh pada tubuhku, seperti melupakan sesuatu yang tidak semestinya terlupakan. Tapi apa? Langkah kakiku pun melangkah menuju kamarku memeriksa hal apa yang begitu jahatnya sampai tega kulupakan, tapi tak ada apapun yang kutemukan begitu mengacak-acak laci dan buku yang berserakan di atas meja, sebenarnya sengaja ku geletakkan begitu saja di atas meja buku-buku yang begitu membaca judulnya otomatis rasa malas langsung mendera pikiran, karena pepatah pernah berkata bahwa agar tugasmu tidak menumpuk maka sejajarkanlah ia. Terserah.
Sekembaliku dari ruangan pengap yang ku sebut dengan home sweet home ku sendiri, kutemukan seorang lelaki jangkung sedang duduk di depan televisi dengan rambut yang masih berantakan walaupun terlihat Ia begitu berusaha merapikannya dengan air dan sisir, sembari mengunyah nasi dengan lauk seadanya.
"Ah, sudah bangun rupanya" kataku sambil mengisyaratkan untuk merapikan kembali rambut-rambut yang bersatu membentuk menara-menara di atas kepalanya itu
"Padahal kau juga" jawab lelaki itu sinis kepadaku membuat tanganku bergerak sendiri mencari menara baru yang terbangun di atas kepalaku
Diluar rumah masih saja gelap, walaupun dimensi ruang dan waktu terus berjalan tapi sepertinya dimensi fisik melakukan pengecualian. Ah, aku berpikir mungkin masih mendung karena semalaman hujan tidak kunjung berhenti.
"Aneh.. aneh, kalian saja yang yang belum pernah mengalami hal seperti ini" gerutu kakakku dengan mulut yang setengah penuh dengan gumpalan karbohidrat itu ketika mendengarkan siaran berita di televisi yang menyiarkan kejadian pagi ini, sepertinya di tempat sang reporter menyampaikan berita juga terjadi kondisi alam yang serupa
"Memangnya kakak pernah mengalami?" kataku mencoba mengurangi sikap buruk manusia itu yang sering mengomentari hal-hal dengan berlebihan, beruntungnya tidak separah netizen sekarang atau entah apapun sebutan untuk orang-orang seperti itu
"Itu hanya perumpamaan. Kau tau aku kesal dengan sikap masyarakat sekarang ini, tidak pernah bosan berkomentar tentang hal yang aneh" pembelaannya walaupun secara tersirat Ia menyetujui pemberitaan di televisi itu
"Oh" balasku singkat sambil hendak beranjak dari tempat itu menuju sekolah "Aku berangkat dulu, jangan lupa cuci piringnya. Assalamualaikum"
"Kau sudah punya pacar, Arunika?" Tanya lelaki itu sukses menghentikan langkahku sebelum sempat melewati garis pintu, aku termenung sejenak lalu kembali melanjutkan langkahku yang tertunda sambil memberikan wajah sinis padanya "Cepatlah cari gadis sebelum dunia ini musnah. Maksudku agar ada yang membuatkan kita sarapan di setiap pagi!" katanya setengah berteriak dan terkekeh
"ASSALAMUALAIKUM!" teriakku dari pintu gerbang dan terdengar sayup lelaki jangkung kekar itu menjawab salam dari adik lelakinya yang kurus namun tampan
Masih dengan keadaan yang gelap pagi itu, namun aku masih bisa melihat segurat cahaya lampu di seberang sekolah yang menerangi area kolam disana dari jendela kelas yang tidak mempunyai kaca sebagai pelindungnya. Konon katanya karena kesengajaan siswa yang sering keluar kelas melompati jendela untuk menghindari mata pelajaran yang mengesalkan. Ya, kalian bisa menebak mata pelajaran apa.
Suhu dingin yang aku simpulkan berasal dari efek matahari yang belum kunjung menampakkan dirinya itu menyebabkan hampir seluruh siswa memakai jaket tebal dan beberapa diantaranya seperti model jaket yang dikenakan aktor luar negeri pada adegan film di musim dingin, aku yakin mereka hanya pamer gengsi saja, sedangkan mereka yang tidak sempat memakai jaket hanya bisa melapisi baju mereka dengan baju lagi. Pemandangan strata sosial  yang bisa menjadi objek pembelajaran sosiologi hari ini.
"Hari ini kita kedatangan murid baru yang baru saja pindah dari sekolah barunya yang katanya baru saja dibangun dan pindah karena alasan yang.... baru.....baru..... ini"
Seorang lelaki muda berkacamata memulai interaksi sambil mengenalkan seorang siswi yang dalam penjelasannya hanya jelas terdengar kata baru yang diulang-ulang dan mendapati seluruh pasang mata di ruangan yang kini hanya bersandar pada setitik bohlam sebagai penerang yang terpasang di tengah ruangan tertuju padanya yang terlihat bingung sendiri setelah memberikan tekanan lemah pada kata baru yang terakhir. "Perkenalkan dirimu" lanjutnya sambil beralih ke mejanya, jelas saja untuk menghindari tatapan siswa yang menahan diri untuk tidak memecahkan tawa.
"Nama saya Swastamita, bisa dipanggil Tami. Saya murid pindahan dari sebuah sekolah di pinggir pantai pulau ini, mohon kerja samanya" kata gadis itu pelan. Suaranya terasa lembut sekali terdengar seperti bisikan Chopin yang memberikan cinta lewat alunan melodi pianonya, disisi lain juga terdengar seperti melelehnya lembayung senja di sore hari, sunyi namun indah sekali.
"Nama yang aneh" kataku mencoba mendustakan panca inderaku sendiri. Bagaimana mungkin aku langsung terkagum-kagum dengan seorang yang baru saja memperkenalkan namanya sendiri dan hanya lewat suara, sungguh bodoh
"Arunika, kau berbicara sesuatu?" Kata lelaki berkacamata yang sekarang berada di balik mejanya
"Ah, tidak pak. Tidak apa-apa" jawabku sambil tersenyum tipis yang tidak begitu ikhlas
"Jujur saja, kau pasti tertarik padanya" kata seorang lelaki yang duduk disampingku sambil berbisik kencang "Arunika itu juga nama yang aneh" lanjutnya diikuti gelak tawa jahat
"Itu adalah doa, kau tau!" gerutuku dalam diam sementara aku sadari gadis yang berdiri di depan kelas itu menatapku erat
"Nah itu kau tau" balas lelaki itu dengan wajah penuh kemenangan
Waktu sudah menunjukkan pukul 2 siang, namun tetap saja langit masih seperti waktu pertama kali aku melihatnya pagi ini, tanpa segurat senyuman pun yang bisanya menyapa dengan hangat, tanpa dersik angin yang melambaikan dedaunan pohon kelapa dan tanpa pengawasan yang membakar tatkala umat manusia melakukan kemaksiatan.
Pandanganku terpaku pada kumpulan simbol-simbol rumit yang diikuti oleh barisan titik-titik setelahnya. Matematika memang menjadi momok menakutkan bagiku apalagi menyangkut suasana seperti ini, bahwa guru yang harusnya mengajar hari ini harus pergi terkait dengan urusan fenomena alam hari ini. Sebagai gantinya adalah tugas yang sama sekali belum diberikan penjelasan tentangnya.
“Butuh bantuan?” sapa seorang gadis menuju ke arahku. Siswi baru tadi. Si Gadis misterius, walaupun mungkin lebih cocok jika kutakan aneh, tapi penulisku ingin aku lebih sopan dalam berkata-kata meskipun itu di dalam hati sekalipun.
“Eer, aku..” kataku kaku. Melihat gadis itu dari dekat ternyata lebih cantik daripada sekedar memandangnya dari kejauhan. Tidak, maksudku terasa lebih indah. Aku bisa merasakan seluruh urat nadiku bergetar tatkala dia duduk di kursi yang kebetulan sekali kosong karena teman duduk ku masih berada di luar membeli makan siang.
Dia mulai menjelaskan dengan seksama bagaimana cara yang benar untuk menyelesaikan soal-soal seperti itu. Gila, selain cantik dia juga pintar. Apakah di sekolahnya yang dahulu sudah mempelajari materi ini terlebih dahulu, bahkan lebih jauh. Aku yang memperhatikannya hanya bisa mengangguk dan berdeham iya walaupun sebenarnya aku tidak begitu konsentrasi pada penjelasannya. Salahnya sendiri memiliki suara yang begitu lembut, sorot mata yang begitu polos, rambutnya yang pendek terjuntai membiarkanku mengintip senyumannya yang tipis namun terasa sangat ikhlas. Apa sebenarnya yang ada di pikiran Tuhan ketika menciptakan makhluk ini.
“Ah, sepertinya kalian menjadi akrab lebih daripada yang kubayangkan” kata sebuah suara mengejutkanku dan gadis itu “Daris, teman duduknya Arunika. Dan dia menyukaimu” kata lelaki itu memperkenalkan dirinya yang sontak membuatku memerah, akupun langsung mengambil jajanan ringan yang baru saja dibelinya sambil berlalu dengan sinis.
#
Pagi sekali lagi masih malu menyapa dari balik wujud rasa malunya itu. Gelap, dingin, sunyi  masih terasa erat memeluk tubuh dan jiwa. Aku teringat akan film horror Pengabdi Setan yang pernah ku tonton beberapa waktu yang lalu. Ada sebuah adegan dimana satu keluarga diteror oleh berbagai jenis makhluk yang tidak serupa dengan manusia pada umumnya, tangan-tangan yang siap menarik jiwa-jiwa yang kesepian dari balik pintu menuju dunia kesengsaraan dan kenelangsaan.
Suasana menjadi semakin mencekam tatkala ada beberapa orang menyangkut pautkan kejadian aneh ini dengan pertanda kiamat. Ah! Itu dia, aku melupakan bagian itu. Dikatakan bahwa pertanda akhir dunia sudah dekat adalah terbitnya matahari dari sebelah barat yang sebelum itu langit menjadi gelap gulita dan orang-orang menganggapnya sebagai fenomena alam yang luar biasa. Tapi nyatanya orang-orang malah semakin sadar dengan pertanda itu, dan sebagian dari mereka juga menjadi semakin sering melakukan ibadah, ya walaupun yang memang sedari lahir sudah terbiasa dengan sikap tak acuhnya dan hanya pandai berkoar-koar di media sosial menyebarkan hoax.
Siang ini sialnya aku terkena paksaan dari teman-teman sekelas untuk menemani siswi baru itu untuk mengenalkan lingkungan sekolah. Pasti ini ulah Daris. Akhirnya dengan berat hati akupun menyetujuinya, salah satu alasannya adalah aku begitu malas berdebat dengan orang-orang seperti itu.
Di koridor sekolah aku pun berjalan dengan gadis misterius itu dibelakangku, aku bisa mendengar langkah kakinya mengejar langkahku yang sengaja ku lekaskan.
“Ini adalah laboratorium biologi” “Ini....” langkahku terhenti ketika gadis itu tiba-tiba menarik lenganku
“Kau harus pelan-pelan, aku tidak bisa menyusulmu jika secepat itu” katanya pelan, lembut, lembut sekali. Aku yakin bidadari akan iri mendengar gadis itu ketika berbicara.
Lamunanku pun pecah, pikiranku ingin mendustai perasaanku kembali. Pandanganku mengarah kepada sisi kolam yang terpantulkan cahaya lampu dari koridor sebelahnya. Tapi sepertinya gadis itu tidak rela melepaskan tanganku sebelum aku menyerahkan diriku padanya.
“Baiklah, aku akan pelan-pelan sekarang” kataku mendengus
Kami pun berjalan kembali, kali ini dengan tempo yang normal-normal saja, dan kali ini gadis itu berjalan persis disampingku, membuat tubuhku memanas. Baru kali ini aku merasakan kehangatan diantara dinginnya dunia dua hari belakangan ini. Rasanya seperti bertemu sang mentari lagi, membawa sapa dengan kehangatannya yang abadi. Aku merasa melihat sekelilingku menjadi terang kembali seperti gelap itu tidak pernah ada.
“Ini apa?” dia bertanya memecah lamunan indahku
“Oh, ini laboratorium astronomi” kataku pelan dan sekarang tersenyum, dan kurasa senyum itu adalah senyuman paling ikhlas yang pernah kumiliki
Gadis itu berjalan ke dalam laboratorium itu dengan aku yang mengikutinya dari belakang, sepertinya dia begitu tertarik dengan hal astronomi.
Namun anehnya, gadis itu tiba-tiba mematung namun pandangannya jelas melihat ke satu titik, aku tak tau apa karena kondisi ruangan yang remang. Baik, sekarang aku mulai takut. Pikiranku berlari kembali ke adegan film horror yang pernah ku tonton itu.
“Tami?” kataku memberanikan diri memanggil gadis itu
Ketika aku hendak memegang pundaknya, dia tiba-tiba berlari pergi dari ruangan itu menyisakan keterkejutan yang luar biasa bagi jantungku. Artinya tidak salah aku menyebutnya aneh.
Aku pun langsung ikut berlari mengejar jejaknya yang tersisa walaupun sekarang sudah tidak terlihat kemana arah gadis itu pergi. Cepat sekali larinya. Aku masih berlari mengandalkan naluriku saja, walaupun sekarang lebih bisa dikatakan setengah berlari.
Gelap sekali, lebih gelap dari gelap sebelumnya. Aku tak bisa melihat apapun di depan selain diriku sendiri, kakiku yang terus melangkah. Rumah-rumah, pepohonan, bahkan kendaraan-kendaraan yang biasanya memancarkan cahaya seperti raib tertelan oleh kegelapan itu sendiri.
Lama aku berjalan hingga mendengarkan deburan ombak di depan. Sepertinya sudah sampai pantai. Sependengaranku tentang ombak itu begitu nyata dan benar saja, aku telah berdiri di tepian bukit dengan aliran air yang pecah dibawahnya. Di atas lautan terlihat bulan purnama bersinar dengan terangnya sedikit mengobati rasa rinduku terhadap matahari yang dua hari ini sepertinya mempunyai masalah dengan pengelihatan. Mungkin dia sudah terlalu tua dan tak bisa melihat jalannya ke bumi.
“Tami?” gadis itu berdiri di depanku menatap lautan menatap rembulan
Namun bukannya seperti adegan dalam film horror itu yang kuharapkan, gadis itu membalikkan badannya menghadapku. Senyumannya masih terasa hangat, tatapannya pun polos sama seperti saat pertama kali aku melihatnya namun kali ini sedikit sayu, rambutnya terurai dilambaikan angin lebih mirip seperti adegan dalam serial anime Tsuki ga Kirei, ketika Azumi Kotarou melihat Mizuno Akane dibawah sinar rembulan yang dipantulkan cahayanya oleh kolam di kuil yang biasa tempat Kotarou berlatih untuk festival.
“Apa yang terjadi?” tanyaku dengan sangat hati-hati
“Maafkan aku, Arunika. Aku harus pergi sebelum semua makhluk di bumi ini mati kedinginan” katanya tak masuk akal namun begitu serius
“Apa maksudmu?” ucapku lagi kali ini dengan sensasi yang berbeda pada detak jantungku
“Aku sebenarnya adalah mataharimu yang engkau cari selama ini. Aku menjelma menjadi manusia ketika aku mendengar namamu disebutkan. Arunika. Begitu mendengar Arunika berada pada dunia manusia dari kakakku, aku langsung kesini dan menemukanmu menatapku penuh arti, sejak saat itu aku tau bahwa kau adalah Arunika”
“Apa maksudmu, aku tidak begitu mengerti”
“Setiap permulaan yang indah harusnya ada perpisahaan yang indah pula. Karena itulah aku diberi nama Swastamita” katanya lembut
Sekarang tubuhku tak bisa selaras lagi dengan pikiranku, dengan batinku. Buliran jernih mengalir tipis melalui kornea mata dan pipiku. Dersik angin dan gemuruh ombak seakan ikut berbicara pada kami saat itu yang entah aku mengerti sore ataukah siang, bahkan langit pun sekarang memunculkan barisan bintang yang tersenyum melihat adegan itu.
“Aku harus pergi, kak Mangata sudah memanggilku” katanya dan tersenyum
“Apa kau tidak bisa tinggal sebentar lagi?”
“Tidak bisa, kehidupan di dunia ini akan berakhir jika aku tidak kembali dalam waktu dua hari”
“Tami” suaraku parau. Ini bukanlah kisah cerita anime Kimi no Nawa ataupun kisah cerita pendek lainnya karangan Sungging Raga bukan? Dimana seekor laba-laba yang mencintai seorang anak manusia atau sebuah sungai yang menjelma hidup hanya untuk menikmati keindahan senja yang berkilau oranye bercampur hijau di atas gemericik airnya
“Jangan khawatir. Kau akan tetap menjadi Arunika dan aku akan tetap menjadi Swastamita, kita akan bertemu bila kehidupan dimulai dengan indah dan diakhiri dengan indah jua”
“Tami” panggilku sekali lagi dengan teramat sangat memintanya untuk tinggal agar aku bisa memeluknya, merasakan kehangatan sekali lagi
“Selamat tinggal, Arunika”
“SWASTAMITA!!!”
Teriakanku berhasil mengiringi melodi ombak yang seperti menelan tubuh gadis itu ataukah angin yang menerbangkannya. Perlahan langit telah menjadi sore. Lembayung senja hari terlihat membentang oranye dari ufuk barat terpadu dengan warna birunya langit yang semakin menjadi gelap. Aku masih merasa bahwa matahari itu tersenyum kepadaku sebelum Ia seutuhnya hilang ditelan malam, di lautan. Rembulan pun ikut mengoceh menyuruhku untuk tetap mengenang adiknya itu sebelum kami bertemu kembali dalam dimensi yang seharusnya.

***


Arunika selalu menyapa pagi dengan senyumannya
Dipeluknya bumi
Dalam kehangatannya
Di sisi lain Swastamita selalu tersenyum
Mengirimkan salam rindu dengan guratan cahayanya yang keoranyean
Menyatu dengan warna-warna kasih sayang lainnya
Senantiasa menunggu kehidupan berakhir dengan indah
Agar dapat bertemu lagi dalam sebuah ruang keabadian