Muhammad Faqih El Wathon
Suara
gemerincing jam beker dari
atas meja kamarku berbunyi dengan jahatnya memaksa sepasang kelopak mata
dibawah selimut tebal nan hangat terbuka dengan sangat malas. Tangan kananku
meraba-raba dalam kegelapan mengandalkan telinganya sendiri untuk menjangkau
jam kecil yang sudah teriak-teriak sedari tadi. Begitu dendamnya tanganku
ketika menemukan jam itu, ingin sekali membuangnya jauh keluar jendela, tapi
naas dia masih terlalu lemah untuk melakukan rencana itu hingga jam kecil itu
hanya dijengguknya pelan pada sisi kepalanya.
Pagi
ini begitu dingin, lebih
dari biasanya. Begitu nikmatnya karunia kehangatan yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia yang
menggigil dalam kedinginan, atau dalam konteks ini mungkin saja hanya siasat
setan pagi yang senantiasa memeluk manusia dengan apinya supaya terus lalai
dalam melaksanakan kewajibannya di pagi hari. Tapi bagiku semua terasa sama
saja, tidak ada yang bisa memejamkan kembali mataku kembali ke dalam dunia
mimpi yang begitu indah. Tidak, saatnya menaklukkan kenyataan.
Sayup-sayup
terdengar dari masjid di seberang desa tengah melafadzkan zikir setelah sholat
shubuh begitu aku berjalan di dalam kesunyian pagi, tanpa sapaan burung-burung
maupun ayam jantan yang biasanya beradu vokal dengan jam beker kecil imut yang
hendak kubuang setiap pagi. Kakakku sepertinya masih tertidur pulas di atas
lautan kapuknya yang setauku lebih keras dari punyaku di dalam kamar,
sepertinya dia takluk dengan godaan setan pagi itu. Ah, biarkan saja, lagipula
hari ini adalah gantianku membuatkan sarapan untuk kami. Hal itu biasanya kami
lakukan bergantian setiap hari sepeninggal ayah dan ibu dari pernikahan mereka.
Pagi
itu waktu telah menunjukkan pukul setengah 7 kurang sedikit, namun ada hal yang
sedikit merangsang perhatianku. Pagi ini
begitu dingin, dingin yang begitu berbeda dari sapaan dingin di pagi hari
sebelumnya. Sang mentari pagi yang biasanya menyapa hangat dari balik atap-atap
rumah tetangga pun belum ada tanda-tanda yang mengatakan bahwa dia akan
menunjukkan kecantikan wajahnya, walaupun belum ada yang begitu nyata melihat
wajah dewa itu, aku
yakin itu hanyalah awang-awang dari sekelompok orang cengeng dan dia yang
menulis cerita ini.
Aku
pun merasa sedikit aneh pada tubuhku, seperti melupakan sesuatu yang tidak
semestinya terlupakan. Tapi apa? Langkah kakiku pun melangkah menuju kamarku
memeriksa hal apa yang begitu jahatnya sampai tega kulupakan, tapi tak ada
apapun yang kutemukan begitu mengacak-acak laci dan buku yang berserakan di
atas meja, sebenarnya sengaja ku geletakkan begitu saja di atas meja buku-buku
yang begitu membaca judulnya otomatis rasa malas langsung mendera pikiran, karena pepatah pernah
berkata bahwa agar tugasmu tidak menumpuk maka sejajarkanlah ia. Terserah.
Sekembaliku
dari ruangan pengap yang ku sebut dengan home
sweet home ku sendiri, kutemukan seorang lelaki jangkung sedang duduk di
depan televisi dengan rambut yang masih berantakan walaupun terlihat Ia begitu
berusaha merapikannya dengan air dan sisir, sembari mengunyah nasi dengan lauk
seadanya.
"Ah,
sudah bangun rupanya" kataku sambil mengisyaratkan untuk merapikan kembali
rambut-rambut yang bersatu membentuk menara-menara di atas kepalanya itu
"Padahal
kau juga" jawab lelaki itu sinis kepadaku membuat tanganku bergerak
sendiri mencari menara baru yang terbangun di atas kepalaku
Diluar
rumah masih saja gelap, walaupun dimensi ruang dan waktu terus berjalan tapi
sepertinya dimensi fisik melakukan pengecualian. Ah, aku berpikir mungkin masih
mendung karena semalaman hujan tidak kunjung berhenti.
"Aneh..
aneh, kalian saja yang yang belum pernah
mengalami hal seperti ini" gerutu kakakku dengan mulut yang setengah penuh
dengan gumpalan karbohidrat itu
ketika mendengarkan siaran berita di televisi yang menyiarkan kejadian pagi
ini, sepertinya di tempat sang reporter menyampaikan berita juga terjadi
kondisi alam yang serupa
"Memangnya
kakak pernah mengalami?"
kataku mencoba mengurangi sikap buruk manusia itu yang sering mengomentari
hal-hal dengan berlebihan, beruntungnya tidak separah netizen sekarang atau
entah apapun sebutan untuk orang-orang seperti itu
"Itu
hanya perumpamaan. Kau tau aku kesal dengan sikap masyarakat sekarang ini, tidak
pernah bosan berkomentar tentang hal yang aneh" pembelaannya walaupun
secara tersirat Ia menyetujui pemberitaan di televisi itu
"Oh"
balasku singkat sambil hendak beranjak dari tempat itu menuju sekolah "Aku
berangkat dulu, jangan lupa cuci piringnya. Assalamualaikum"
"Kau
sudah punya pacar, Arunika?" Tanya lelaki itu sukses menghentikan
langkahku sebelum sempat melewati garis pintu, aku termenung sejenak lalu
kembali melanjutkan langkahku yang tertunda sambil memberikan wajah sinis
padanya "Cepatlah cari gadis sebelum dunia ini musnah. Maksudku agar ada
yang membuatkan kita sarapan di setiap pagi!" katanya setengah berteriak
dan terkekeh
"ASSALAMUALAIKUM!"
teriakku dari pintu gerbang dan terdengar sayup lelaki jangkung kekar itu
menjawab salam dari adik lelakinya yang kurus namun tampan
Masih
dengan keadaan yang gelap pagi itu, namun aku masih bisa melihat segurat cahaya
lampu di seberang sekolah yang menerangi area kolam disana dari jendela kelas
yang tidak mempunyai kaca sebagai pelindungnya. Konon katanya karena
kesengajaan siswa yang sering keluar kelas melompati jendela untuk menghindari
mata pelajaran yang mengesalkan. Ya, kalian bisa menebak mata pelajaran apa.
Suhu
dingin yang aku simpulkan berasal dari efek matahari yang belum kunjung
menampakkan dirinya itu menyebabkan hampir seluruh siswa memakai jaket tebal
dan beberapa diantaranya seperti model jaket yang dikenakan aktor luar negeri
pada adegan film di musim dingin, aku yakin mereka hanya pamer gengsi saja,
sedangkan mereka yang tidak sempat memakai jaket hanya bisa melapisi baju
mereka dengan baju lagi. Pemandangan strata sosial yang bisa menjadi objek pembelajaran
sosiologi hari ini.
"Hari
ini kita kedatangan murid baru yang baru saja pindah dari sekolah barunya yang
katanya baru saja dibangun dan pindah karena
alasan yang....
baru.....baru..... ini"
Seorang
lelaki muda berkacamata memulai interaksi sambil mengenalkan seorang siswi yang
dalam penjelasannya hanya jelas terdengar kata “baru”
yang diulang-ulang
dan mendapati seluruh pasang mata di ruangan yang kini hanya bersandar pada setitik bohlam sebagai penerang yang
terpasang di tengah ruangan tertuju padanya yang terlihat bingung sendiri
setelah memberikan tekanan lemah pada kata “baru” yang terakhir.
"Perkenalkan dirimu" lanjutnya sambil beralih ke mejanya, jelas saja
untuk menghindari tatapan siswa yang menahan diri untuk tidak memecahkan tawa.
"Nama
saya Swastamita, bisa dipanggil Tami. Saya murid pindahan dari sebuah sekolah
di pinggir pantai pulau ini, mohon kerja samanya" kata gadis itu pelan.
Suaranya terasa lembut sekali terdengar seperti bisikan Chopin yang memberikan
cinta lewat alunan melodi pianonya, disisi lain juga terdengar seperti
melelehnya lembayung senja di sore hari, sunyi namun indah sekali.
"Nama
yang aneh" kataku mencoba mendustakan panca inderaku sendiri. Bagaimana
mungkin aku langsung terkagum-kagum dengan seorang yang baru saja
memperkenalkan namanya sendiri dan hanya lewat suara, sungguh bodoh
"Arunika,
kau berbicara sesuatu?" Kata lelaki berkacamata yang sekarang berada di
balik mejanya
"Ah,
tidak pak. Tidak apa-apa" jawabku sambil tersenyum tipis yang tidak begitu
ikhlas
"Jujur
saja, kau pasti tertarik padanya" kata seorang lelaki yang duduk
disampingku sambil berbisik kencang "Arunika itu juga nama yang aneh"
lanjutnya diikuti gelak tawa jahat
"Itu
adalah doa, kau tau!" gerutuku dalam diam sementara aku sadari gadis yang
berdiri di depan kelas itu menatapku erat
"Nah
itu kau tau" balas lelaki itu
dengan wajah penuh kemenangan
Waktu
sudah menunjukkan pukul 2 siang, namun tetap saja langit masih seperti waktu
pertama kali aku melihatnya pagi ini, tanpa segurat senyuman pun yang bisanya
menyapa dengan hangat, tanpa dersik angin yang melambaikan dedaunan pohon
kelapa dan tanpa pengawasan yang membakar tatkala umat manusia melakukan
kemaksiatan.
Pandanganku
terpaku pada kumpulan simbol-simbol rumit yang diikuti oleh barisan titik-titik
setelahnya. Matematika memang menjadi momok menakutkan bagiku apalagi
menyangkut suasana seperti ini, bahwa guru yang harusnya mengajar hari ini
harus pergi terkait dengan urusan fenomena alam hari ini. Sebagai gantinya
adalah tugas yang sama sekali belum diberikan
penjelasan tentangnya.
“Butuh
bantuan?” sapa seorang gadis menuju ke arahku. Siswi baru tadi. Si Gadis
misterius, walaupun mungkin lebih cocok jika kutakan aneh, tapi penulisku ingin
aku lebih sopan dalam berkata-kata meskipun itu di dalam hati sekalipun.
“Eer,
aku..” kataku kaku. Melihat gadis itu dari dekat ternyata lebih cantik daripada
sekedar memandangnya dari kejauhan. Tidak, maksudku terasa lebih indah. Aku
bisa merasakan seluruh urat nadiku bergetar tatkala dia duduk di kursi yang
kebetulan sekali kosong karena teman duduk ku masih berada di luar membeli
makan siang.
Dia
mulai menjelaskan dengan seksama bagaimana cara yang benar untuk menyelesaikan
soal-soal seperti itu. Gila, selain cantik dia juga pintar. Apakah di
sekolahnya yang dahulu sudah mempelajari materi ini terlebih dahulu, bahkan lebih jauh. Aku
yang memperhatikannya hanya bisa mengangguk dan berdeham iya walaupun
sebenarnya aku tidak begitu konsentrasi pada penjelasannya. Salahnya sendiri
memiliki suara yang begitu lembut, sorot mata yang begitu polos, rambutnya yang pendek terjuntai
membiarkanku mengintip senyumannya yang tipis namun terasa sangat ikhlas. Apa sebenarnya yang ada di pikiran Tuhan ketika
menciptakan makhluk ini.
“Ah,
sepertinya kalian menjadi akrab lebih daripada yang kubayangkan” kata sebuah
suara mengejutkanku dan gadis itu “Daris, teman duduknya Arunika. Dan dia
menyukaimu” kata lelaki itu
memperkenalkan dirinya yang sontak membuatku
memerah, akupun langsung mengambil jajanan ringan yang baru saja dibelinya
sambil berlalu dengan sinis.
#
Pagi
sekali lagi masih malu menyapa dari balik wujud rasa malunya itu. Gelap,
dingin, sunyi masih terasa erat memeluk tubuh dan jiwa. Aku
teringat akan film horror Pengabdi Setan yang pernah ku tonton beberapa waktu
yang lalu. Ada sebuah adegan
dimana satu keluarga diteror oleh berbagai jenis makhluk yang tidak serupa
dengan manusia pada umumnya, tangan-tangan yang siap menarik jiwa-jiwa yang
kesepian dari balik pintu menuju dunia kesengsaraan dan kenelangsaan.
Suasana
menjadi semakin mencekam tatkala ada beberapa orang menyangkut pautkan kejadian
aneh ini dengan pertanda kiamat. Ah! Itu dia, aku melupakan bagian itu.
Dikatakan bahwa pertanda akhir dunia sudah dekat adalah terbitnya matahari dari
sebelah barat yang sebelum itu langit menjadi gelap gulita dan orang-orang
menganggapnya
sebagai fenomena alam yang luar biasa. Tapi nyatanya orang-orang malah semakin
sadar dengan pertanda itu, dan sebagian dari mereka juga menjadi semakin sering
melakukan ibadah, ya walaupun yang memang sedari lahir sudah terbiasa dengan
sikap tak acuhnya dan hanya pandai berkoar-koar di media sosial menyebarkan hoax.
Siang
ini sialnya aku terkena
paksaan dari teman-teman sekelas untuk menemani siswi baru itu untuk
mengenalkan lingkungan sekolah. Pasti ini ulah Daris. Akhirnya dengan berat
hati akupun menyetujuinya,
salah satu alasannya adalah aku begitu malas berdebat dengan orang-orang seperti itu.
Di
koridor sekolah aku pun berjalan dengan gadis misterius itu dibelakangku, aku
bisa mendengar langkah kakinya mengejar langkahku yang sengaja ku lekaskan.
“Ini
adalah laboratorium biologi” “Ini....” langkahku terhenti ketika gadis itu
tiba-tiba menarik lenganku
“Kau
harus pelan-pelan, aku tidak bisa menyusulmu jika secepat itu” katanya pelan,
lembut, lembut sekali. Aku yakin bidadari akan iri
mendengar gadis itu ketika berbicara.
Lamunanku
pun pecah, pikiranku ingin mendustai perasaanku kembali. Pandanganku mengarah
kepada sisi kolam yang terpantulkan cahaya lampu dari koridor sebelahnya. Tapi
sepertinya gadis itu tidak rela melepaskan tanganku sebelum aku menyerahkan
diriku padanya.
“Baiklah,
aku akan pelan-pelan sekarang” kataku mendengus
Kami
pun berjalan kembali, kali ini dengan tempo yang normal-normal saja, dan kali ini gadis itu
berjalan persis disampingku, membuat tubuhku memanas. Baru kali ini aku
merasakan kehangatan diantara dinginnya dunia dua hari belakangan ini. Rasanya
seperti bertemu sang mentari lagi, membawa sapa dengan kehangatannya yang
abadi. Aku merasa melihat sekelilingku menjadi terang kembali seperti gelap itu
tidak pernah ada.
“Ini
apa?” dia bertanya memecah lamunan indahku
“Oh,
ini laboratorium astronomi” kataku pelan dan sekarang tersenyum, dan kurasa
senyum itu adalah senyuman paling
ikhlas yang pernah kumiliki
Gadis
itu berjalan ke
dalam laboratorium itu dengan aku yang mengikutinya dari belakang, sepertinya
dia begitu tertarik dengan hal astronomi.
Namun
anehnya, gadis itu tiba-tiba mematung namun pandangannya jelas melihat ke satu
titik, aku tak tau apa karena kondisi ruangan yang remang. Baik, sekarang aku
mulai takut. Pikiranku berlari kembali ke adegan film horror yang pernah ku
tonton itu.
“Tami?”
kataku memberanikan diri memanggil gadis itu
Ketika
aku hendak memegang pundaknya, dia tiba-tiba berlari pergi dari ruangan itu
menyisakan keterkejutan yang luar biasa bagi jantungku. Artinya tidak salah aku
menyebutnya aneh.
Aku
pun langsung ikut berlari mengejar jejaknya yang tersisa walaupun sekarang
sudah tidak terlihat kemana arah gadis itu pergi. Cepat sekali larinya. Aku
masih berlari mengandalkan naluriku saja, walaupun sekarang lebih bisa
dikatakan setengah berlari.
Gelap
sekali, lebih gelap dari gelap sebelumnya. Aku tak bisa melihat apapun di depan
selain diriku sendiri, kakiku yang terus melangkah. Rumah-rumah, pepohonan,
bahkan kendaraan-kendaraan yang biasanya memancarkan cahaya seperti raib
tertelan oleh kegelapan itu sendiri.
Lama
aku berjalan hingga mendengarkan deburan ombak di depan. Sepertinya sudah
sampai pantai. Sependengaranku tentang ombak itu begitu nyata dan benar saja,
aku telah berdiri di tepian bukit dengan aliran air yang pecah dibawahnya. Di
atas lautan terlihat bulan purnama bersinar dengan terangnya sedikit mengobati
rasa rinduku terhadap matahari yang dua hari ini sepertinya mempunyai masalah
dengan pengelihatan. Mungkin dia sudah terlalu tua dan tak bisa melihat
jalannya ke bumi.
“Tami?”
gadis itu berdiri di depanku menatap lautan menatap rembulan
Namun
bukannya seperti adegan dalam film horror itu yang kuharapkan, gadis itu
membalikkan badannya menghadapku. Senyumannya masih terasa hangat, tatapannya
pun polos sama seperti saat pertama kali aku melihatnya namun kali ini sedikit
sayu, rambutnya terurai dilambaikan angin lebih mirip seperti adegan dalam
serial anime Tsuki ga Kirei, ketika Azumi Kotarou melihat Mizuno Akane dibawah
sinar rembulan yang dipantulkan cahayanya oleh kolam di kuil yang biasa tempat
Kotarou berlatih untuk festival.
“Apa
yang terjadi?” tanyaku dengan sangat hati-hati
“Maafkan
aku, Arunika. Aku harus pergi sebelum semua makhluk di bumi ini mati
kedinginan” katanya tak masuk akal namun begitu serius
“Apa
maksudmu?” ucapku lagi kali ini dengan sensasi yang berbeda pada detak
jantungku
“Aku
sebenarnya adalah mataharimu yang engkau cari selama ini. Aku menjelma menjadi
manusia ketika aku mendengar namamu disebutkan. Arunika. Begitu mendengar
Arunika berada pada dunia manusia dari kakakku, aku langsung kesini dan
menemukanmu menatapku penuh arti, sejak saat itu aku tau bahwa kau adalah
Arunika”
“Apa
maksudmu, aku tidak begitu mengerti”
“Setiap
permulaan yang indah harusnya ada perpisahaan yang indah pula. Karena itulah
aku diberi nama Swastamita” katanya lembut
Sekarang
tubuhku tak bisa selaras lagi dengan pikiranku, dengan batinku. Buliran jernih
mengalir tipis melalui kornea mata dan pipiku. Dersik angin dan gemuruh ombak
seakan ikut berbicara pada kami saat itu yang entah aku mengerti sore ataukah
siang, bahkan langit pun
sekarang memunculkan barisan bintang yang tersenyum melihat adegan itu.
“Aku
harus pergi, kak Mangata
sudah memanggilku” katanya dan tersenyum
“Apa
kau tidak bisa tinggal sebentar lagi?”
“Tidak
bisa, kehidupan di dunia ini akan berakhir jika aku tidak kembali dalam waktu
dua hari”
“Tami”
suaraku parau. Ini bukanlah kisah cerita
anime Kimi no Nawa ataupun kisah cerita pendek lainnya karangan Sungging Raga
bukan? Dimana seekor laba-laba yang mencintai seorang anak manusia atau sebuah
sungai yang menjelma hidup hanya untuk menikmati keindahan senja yang berkilau
oranye bercampur hijau di atas gemericik airnya
“Jangan
khawatir. Kau akan tetap menjadi Arunika dan aku akan tetap menjadi Swastamita,
kita akan bertemu bila kehidupan dimulai dengan indah dan diakhiri dengan indah
jua”
“Tami”
panggilku sekali lagi dengan teramat sangat memintanya untuk tinggal agar aku bisa memeluknya, merasakan
kehangatan sekali lagi
“Selamat
tinggal, Arunika”
“SWASTAMITA!!!”
Teriakanku
berhasil mengiringi melodi ombak yang seperti menelan tubuh gadis itu ataukah
angin yang menerbangkannya. Perlahan langit telah menjadi sore. Lembayung senja
hari terlihat membentang oranye dari ufuk barat terpadu dengan warna birunya
langit yang semakin menjadi gelap. Aku masih merasa bahwa matahari itu
tersenyum kepadaku sebelum Ia seutuhnya hilang ditelan malam, di lautan. Rembulan pun ikut
mengoceh menyuruhku untuk tetap mengenang adiknya itu sebelum kami bertemu
kembali dalam dimensi yang seharusnya.
***
Arunika selalu menyapa pagi dengan
senyumannya
Dipeluknya bumi
Dalam kehangatannya
Di sisi lain Swastamita selalu
tersenyum
Mengirimkan salam rindu dengan
guratan cahayanya yang keoranyean
Menyatu dengan warna-warna
kasih sayang lainnya
Senantiasa menunggu kehidupan
berakhir dengan indah
Agar dapat bertemu lagi dalam
sebuah ruang keabadian